Kepercayaan Masyarakat Prasejarah Di Masa Bercocok Tanam

Fullseoblog | Kepercayaan Masyarakat Prasejarah Di Masa Bercocok Tanam - Pada masa bercocok tanam, kepercayaan manusia purba masih bersifat animisme, dinamisme, dan totemisme. Namun, sudah lebih meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Pada masa ini dilakukan upacara-upacara penghormatan terhadap roh nenek moyang. Upacara yang paling mencolok adalah upacara pada waktu penguburan terutama bagi meraka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Orang yang mati biasanya dibekali dengan bermacam-macam barang yang dipakai sehari-hari seperti periuk, perhiasan, dan sebagainya yang dikubur bersama-sama. 

Kepercayaan Masyarakat Prasejarah Di Masa Bercocok Tanam
Kepercayaan Masyarakat Prasejarah Di Masa Bercocok Tanam
Maksudnya adalah agar roh orang yang meninggal tidak akan tersesat dalam perjalanan menuju ke tempat arwah nenek moyang atau asal-usul mereka. Jika tempat yang dianggap sebagai tempat arwah terlalu jauh atau sukar dicapai, maka orang yang mati cukup dikuburkan di suatu tempat dengan meletakkan badannya terarah ke sebuah tempat yang dimaksud, yaitu tempat roh.

Pada masa bercocok tanam, orang yang meninggal dunia mendapat penghormatan khusus. Ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya benda-benda berupa susunan batu besar dalam berbagai bentuk dan biasanya disebut bangunan megalithikum. Bangunan megalitik tersebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Bentuk bangunan yang bermacam-macam itu mempunyai maksud utama yaitu pemujaan terhadap arwah nenek moyang. Bangunan yang paling tua mungkin berfungsi sebagai kuburan. 

Bentuk-bentuk tempat penguburan dapat berupa: dolmen, peti batu, bilik batu, sarkofagus, kalamba atau bejana batu, waruga, batu kandang dan temu gelang. Di tempat-tempat kuburan semacam itu kadang-kadang ditemukan bangunan batu besar lainnya sebagai pelengkap pemujaan terhadap roh nenek moyang seperti menhir, patung nenek moyang, batu saji, batu lesung atau lumpang, batu dakon, punden berundak, pelinggih batu atau jalanan batu. 

Di Bondowoso ditemukan dolmen, sarkofagus, menhir, arca megalitik, dan batu kenong. Di Besuki juga ditemukan dolmen semu dan sarkofagus. Di Bojonegoro dan Tuban ditemukan peti kubur batu yang oleh penduduk setempat dinamakan kubur kalang. Di tempat lain di Jawa Tengah juga ditemukan benda-benda megalitik, seperti di Rembang ditemukan kursi-kursi batu, di Banyumas dan Purbalingga ditemukan punden berundak. Di Banten dan Bogor (Jawa Barat) juga ditemukan punden berundak sementara di kuningan ditemukan menhir. Di Pasemah, Sumatera Selatan dan di Sulawesi Tengah juga ditemukan menhir dan patung nenek moyang. Di Keliki dan Tegalang, Bali, ditemukan sarkofagus.

Beberapa jenis bentuk kuburan mengalami perkembangan pada fungsinya, misalnya dolmen mengalami berbagai variasi bentuk, yaitu dibuat untuk pelinggih roh atau tempat sesaji. Dolmen yang berkembang menjadi pelinggih di antara masyarakat megalitik yang telah maju digunakan sebagai tempat duduk oleh kepala-kepala suku atau raja-raja yang masih hidup.

Tradisi mendirikan bagunan-bangunan megalithikum selalu berhubungan dengan kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dengan yang telah mati (mega berarti besar, lithos berarti batu). Terutama kepercayaan kepada adanya pengaruh yang kuat dari orang yang telah meninggal terhadap kesejahteraan masyarakat dan kesuburan tanaman. Bangunan-bangunan batu besar yang didirikan menjadi medium penghormatan, tahta kedatangan sekaligus menjadi lambang orang yang meninggal. Bangunan-bangunan megalithikum tersebar di daerah-daerah Asia Tenggara yang sisa-sisanya dapat ditemukan di daerah-daerah Laos, Tonkin, Indonesia, Pasifik sampai Polinesia. Tradisi megalitik yang masih hidup hingga sekarang antara lain terdapat di Assam, Birma (suku Naga, Khasi dan Ischim) dan beberapa daerah di Indonesia (Nias, Toraja, Flores, dan Sumba).