Berburu dan meramu atau mengumpulkan bahan-bahan makanan masih terus berlanjut. Akan tetapi, mereka
Kehidupan Manusia Purba Tingkat Lanjutan |
sudah mulai bertempat tinggal secara tidak menetap di goa-goa. Mereka akan berpindah ke tempat lain jika persediaan makanan dan binatang buruan di sekitar goa itu sudah tidak mencukupi lagi atau jika terjadi bencana alam, misalnya dinding goa runtuh akibat gempa bumi. Sementara itu, juga terdapat sekelompok manusia yang hidup di goa-goa di tepi pantai dan kehidupannya bergantung pada bahan-bahan makanan yang tersedia di laut.
Untuk memperoleh bahan-bahan makanan mereka menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu, tulang, tanduk, dan lain-lain. Alat-alat dari tulang dan tanduk, misalnya digunakan untuk mengorek umbi-umbian dan melepas kulitnya. Alat dari batu seperti kapak genggam digunakan untuk mencukil tanah, memecah kulit kerang, memotong daging atau untuk menguliti binatang. Manusia pada masa ini sudah melakukan upaya menjinakan anjing untuk berburu. Hal itu terlihat dari temuan gigi anjing di goa Cakondo Sulawesi Selatan.
Alat-alat yang dipakai pada waktu itu adalah kapak perimbas, alat serpih dan alat-alat tulang. Dengan alat-alat tulang ini mereka mempertahankan hidupnya. Dari temuan yang didapat, ternyata mereka mengumpulkan mayat di dalam gua. Mereka mengenal pula batu-batuan yang dapat dicairkan untuk dipergunakan sebagai cat. Pada beberapa gua yang diteliti ditemukan gambar-gambar pada dinding gua dan cat merah. Gambar-gambar itu adalah gambar jari-jari tangan atau binatang-binatang buruan. Gambar itu bukan semata-mata gambaran kesenian, melainkan binatang yang digambarkan itu berhubungan dengan ilmu sihir untuk melumpuhkannya.
Alat-alat yang dipakai pada waktu itu adalah kapak perimbas, alat serpih dan alat-alat tulang. Dengan alat-alat tulang ini mereka mempertahankan hidupnya. Dari temuan yang didapat, ternyata mereka mengumpulkan mayat di dalam gua. Mereka mengenal pula batu-batuan yang dapat dicairkan untuk dipergunakan sebagai cat. Pada beberapa gua yang diteliti ditemukan gambar-gambar pada dinding gua dan cat merah. Gambar-gambar itu adalah gambar jari-jari tangan atau binatang-binatang buruan. Gambar itu bukan semata-mata gambaran kesenian, melainkan binatang yang digambarkan itu berhubungan dengan ilmu sihir untuk melumpuhkannya.
Lukisan Dalam Gua |
Perubahan cara hidup dari mengembara menjadi cara hidup menetap sementara di goa-goa membawa pengaruh ke aspek-aspek kehidupan lainnya. Dari hasil-hasil temuan di beberapa tempat di Jawa dan di Sumatera, ditemukan alat-alat yang bervariasi dan juga ditemukan kerangka manusia yang telah menunjukkan cara-cara penguburan. Dari temuan-temuan alat-alat itu diketahui bahwa mereka telah mampu mengembangkan teknologi yang lebih maju. Adanya kerangka manusia yang telah dikuburkan menunjukkan bahwa mereka telah mempunyai suatu kepercayaan terhadap adanya arwah. Begitu juga hasil-hasil temuan lukisan yang dipahatkan di dinding goa-goa di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Irian Jaya. Hal itu telah mengenal simbol dan makna tertentu. Misalnya, warna merah yang banyak dijumpai dalam lukisan itu menggambarkan warna darah yang dapat memberikan kekuatan.
Penelitian pada alat-alat masa berburu dan mengumpulkan makanan mula-mula dilakukan oleh Von Koenigswald di Punung (kabupaten Pacitan, Jawa Timur). Alat-alat itu berupa kapak perimbas, yaitu kapak batu yang tidak bertangkai dan menggunakannya dengan menggenggam dalam tangan. Karena alat-alat semacam ini banyak ditemukan di Pacitan, maka disebut budaya Pacitan. Oleh Von Koenigswald alat-alat batu semacam itu digolongkan seagai alata-alat palaeolithik. Daerah Punung adalah tempat yang terkaya akan kapak-kapak perimbas dan hingga sekarang merupakan tempat penemuan yang terpenting di Indonesia.
Di samping alat-alat dari batu juga ditemukan alat-alat dari tulang yang dipergunakan sebagai alat penusuk, pisau atau belati. Kecuali itu tulang-tulang yang diruncingkan juga dapat digunakan sebagai mata tombak untuk berburu binatang buruan dengan cara melemparnya kepada binatang buruan tersebut. Alat tulang semacam itu banyak ditemukan di Ngandong (Kabupaten Madiun). Kecuali alat-alat dari tulang juga ditemukan alat-alat dari tulang menjangan yang memperlihatkan bagian yang diruncingkan. Alat dari duri ikan pari yang juga ditemukan, mungkin sebagai mata tombak. Mata panah merupakan alat yang digunakan pada masa berburu untuk menangkap ikan. Ada dua tempat penemuan yang penting yaitu Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Mata Panah |
Tempat-tempat penemuan mata panah di Jawa Timur terutama di gua-gua yaitu Sampung (Gua Lawa), daerah Tuban (Gua Gede dan Kandang) dan gua-gua kecil di bukit-bukit dekat Tuban, di Besuki, Bojonegoro (gua Kramat dan Lawang), Punung dan lain-lain. Selain untuk berburu, mata panah juga digunakan untuk menangkap ikan. Bahan untuk membuat mata panah ada yang dari batu gamping di bagian ujungnya diasah. Mata panah untuk menangkap ikan umumnya terbuat dari tulang dan bergerigi seperti gergaji. Mata panah yang ditemukan kebanyakan secara kebetulan terdapat di dalam gua-gua tempat tinggal untuk sementara atau menetap.
Selain mata panah, juga ditemukan alat-alat obsidan yaitu alat-alat yang khusus terbuat dari batu kecubung. Alat-alat ini berkembang sangat terbatas di beberapa tempat saja seperti di Jambi, dekat danau Kerinci, di sekitar bekas danau Bandung, di sekitar danau Bangkuang dekat Garut, di Leuwiliang (Bogor) dan sedikit sekali di Flores Barat. Von Heine Geldern menduga bahwa alat-alat obsidium berasal dari masa berburu dan mengumpulkan makanan. Pendapat para ahli yang lain seperti van Stein Callenfels, von Koenigswal dan van der Hoop mengaggap alat-alat dari Bandung itu sebagai alat “mikrolit” (batu kecil) dan menduga asalnya dari masa bercocok tanam, karena alat-alat tersebut ditemukan bersama-sama dengan pecahan gerabah, fragmen-fragmen beliung persegi.